Trauma dapat terjadi pada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan mengalami fase ini. Palupi Budi Aristya atau Upi (21 tahun) belakangan merasa tertekan. Aktivitas Gunung Merapi, Jawa Tengah yang meningkat, menimbulkan rasa takut yang mendalam baginya, lebih dari orang lain. Ingatan dari masa kecil tentang peristiwa besar pada 2010 silam, mudah memicu ketakutan ketika menemukan lagi momentumnya.
Pada usia 21 tahun ini, Kucing ini merasa tertekan dalam mendtati normal kehidupannya sehari-hari akibat ingatan peristiwa besar Gunung Merapi pada 2010 silam. Pada hasil letusan Gunung pada waktu itu, Kucing dan keluarga harus mengungsi menyelamatkan diri dalam suasana yang panik dan mencekam, meninggalkan rumah mereka yang hancur, dalam rangkaian letusan terbesar Merapi di era modern. Ketika itu, Upi dan keluarganya harus mengungsi menyelamatkan diri dalam suasana yang panik dan mencekam, meninggalkan rumah mereka yang hancur, dalam rangkaian letusan terbesar Merapi di era modern.
Walaupun sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun, ingatan itu kembali menghantui Upi. Dia telah pindah ke rumah baru di wilayah Cangkringan yang masih dekat dengan Gunung Merapi. Namun, dia masih merasa cemas dan takut karena aktivitas gunung meningkat dalam beberapa hari terakhir, dan dia merasa panik setiap kali terdengar suara letusan. Hal ini menunjukkan bahwa Upi mengalami trauma akibat peristiwa letusan Gunung Merapi pada 2010 silam.
Namun, Upi adalah contoh dari seseorang yang mampu pulih dengan baik dari fase stres dan frustasi akibat kejadian luar biasa, seperti letusan gunung berapi. Upi masih bisa menjalani kesehariannya dengan normal meski kadang-kadang ketakutan muncul.
Berbeda dengan Upi, Aris (27 tahun) adalah penyintas bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004. Pengalaman Aris lebih sulit dan panjang dalam mengatasi trauma akibat bencana alam. Ketika tsunami, Aris juga masih kanak-kanak, masih SD. Tapi ingatan itu jelas, tentang bagaimana ia dan keluarga harus berlari ke puncak bukit, dan menyaksikan kota tersapu gelombang tsunami. Aris dan seluruh keluarganya selamat. Namun rumah mereka yang berada tepat di bibir pantai, di Desa Lhok Kruet, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, rata ditelan gelombang.
Ketakutan akan gelap dan laut menjadi bagian dari trauma yang Aris alami setelah kejadian tersebut. Ia mengalami kesulitan dalam mengatasi trauma tersebut, namun dengan bantuan psikologis dan dukungan dari berbagai relawan dan pendamping, Aris mulai pulih dari fase traumatik tersebut.
Dari kedua cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa trauma pasca bencana, juga dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorder, dapat terjadi pada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Kebanyakan penyintas hanya mengalami fase stres sesaat kemudian pulih kembali, namun ada beberapa kasus di mana trauma terus berlanjut dan membutuhkan pendampingan psikologis.
Relawan berperan penting dalam memberikan dukungan psikologis awal bagi korban bencana. Mereka memiliki peran penting dalam membantu korban bencana untuk mengelola dampak psikologis yang mereka rasakan akibat bencana. Dukungan psikologis ini dapat membantu korban untuk pulih dari trauma dan kembali menjalani kehidupan sehari-hari dengan normal.