Pada pekan kedua Februari 2025, sejumlah media nasional mengabarkan peringkat terbaru perguruan tinggi negeri dan swasta berdasarkan penilaian Quacquarelli Symonds World University Rankings (QS WUR) 2025. Sebelumnya, pada akhir Januari 2025, lembaga pemeringkatan Webometrics juga merilis daftar kampus terbaik di Indonesia versi mereka. Bagi pengelola perguruan tinggi, pemeringkatan semacam ini menjadi tolok ukur penting yang dianggap menentukan masa depan institusi mereka.
Para pimpinan kampus pun berusaha keras mendapatkan peringkat setinggi mungkin demi menjaga reputasi akademik dan meningkatkan kepercayaan publik. Mantan Plt. Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Abu Rokhmad, pada 2024, pernah menyatakan bahwa pemeringkatan adalah instrumen untuk melihat posisi sebuah universitas dibandingkan dengan institusi lain, baik dalam skala nasional, regional, maupun internasional.
Selain pemeringkatan oleh lembaga independen, kampus di Indonesia juga dihadapkan pada akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) atau Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM). Akreditasi bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar menilai kualitas kampus secara objektif. Akreditasi ini juga menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa serta meningkatkan kredibilitas kampus di dunia akademik dan industri. Status “Unggul” menjadi target utama yang ingin dicapai banyak perguruan tinggi.
Masalahnya, di balik gelar prestisius tersebut, ada kenyataan yang tak bisa diabaikan: biaya akreditasi yang sangat tinggi. Meraih akreditasi “Unggul” bukan perkara mudah. Kampus harus melewati berbagai tahapan, mulai dari penyusunan dokumen akreditasi, audit oleh asesor, hingga pemenuhan standar yang ketat. Proses ini membutuhkan biaya besar, yang dalam beberapa kasus dapat mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Permendikbudristek nomor 53 tahun 2023, yang berlaku efektif pada 2025, menyatakan bahwa biaya…
Salah satu faktor utama yang membuat biaya akreditasi begitu tinggi adalah persyaratan sumber daya manusia. Untuk mendapatkan status “Unggul”, PTS harus memiliki tenaga pengajar berkualifikasi tinggi. Idealnya, mayoritas dosen bergelar doktor (S3), dan sebagian adalah profesor dengan rekam jejak penelitian yang kuat. Gaji dosen berkualifikasi tinggi tentu cukup besar, ditambah lagi dengan biaya sertifikasi, seminar internasional, serta publikasi di jurnal bereputasi global seperti Scopus atau Web of Science (WoS). Publikasi di jurnal bereputasi ini bukanlah perkara murah—biayanya bisa mencapai…
Di sisi lain, sarana dan prasarana juga menjadi aspek krusial. Kampus harus memiliki laboratorium modern, perpustakaan digital, serta fasilitas pembelajaran berbasis teknologi. Semua ini membutuhkan investasi besar, terutama bagi PTS yang belum memiliki infrastruktur memadai. Beberapa kampus bahkan rela melakukan renovasi besar-besaran demi meningkatkan nilai akreditasi.
Strategi Cerdas, Fokus, dan Gaul Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang, Syamsul Arifin (2024), juga mengakui, faktor biaya dalam proses akreditasi merupakan salah satu tantangan utama bagi PTS. Namun, kendati biaya akreditasi begitu besar, bukan berarti PTS yang memiliki keterbatasan anggaran tidak bisa mencapai status “Unggul”. Dengan strategi yang cerdas, efisiensi, dan perencanaan matang, kampus swasta tetap bisa meningkatkan kualitas tanpa harus seketika merogoh kas hingga miliaran rupiah. Salah satu cara yang efektif adalah fokus…