Kapitalisasi pertanian di Indonesia seringkali dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi sektor pertanian. Pendekatan ini melibatkan investasi modal besar dan penerapan teknologi canggih untuk memajukan pertanian Nusantara. Namun, pertanyaannya adalah apakah kapitalisasi benar-benar akan memberikan manfaat yang signifikan atau malah meningkatkan ketimpangan di kalangan petani kecil.
Meskipun kapitalisasi sudah terjadi pada sektor komoditas perkebunan seperti kelapa sawit dan kopi, namun belum merata di sektor hortikultura. Petani hortikultura masih mengandalkan modal sendiri, teknologi tradisional, dan sistem distribusi yang kurang efisien. Dengan adanya modal besar, sektor hortikultura diharapkan dapat memperkuat infrastruktur, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan nilai tambah yang tinggi baik untuk pasar lokal maupun ekspor.
Namun, tantangan terbesar terletak pada implementasi kapitalisasi yang baik. Kapitalisasi yang terlalu cepat dan tidak inklusif dapat mengancam kedaulatan pangan nasional, menyebabkan ketimpangan akses sumber daya, dan mengarah pada eksploitasi sumber daya alam. Oleh karena itu, kapitalisasi perlu diimbangi dengan reformasi struktural yang mendukung keberlangsungan pertanian di Indonesia.
Dalam konteks ini, kapitalisasi pertanian harus dijalankan dengan prinsip-prinsip inklusif, partisipatif, dan berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa modal besar harus digunakan untuk memperkuat posisi petani, meningkatkan kapasitas lokal, dan mendorong inovasi sesuai dengan ekosistem pertanian Indonesia. Dengan pendekatan yang mendukung keberlanjutan dan inklusivitas, kapitalisasi pertanian dapat menjadi alat yang efektif untuk memajukan sektor pertanian Nusantara.