Mengapa Rantai Pasok Hijau Penting: Beban atau Investasi?

Jangan Lewatkan

Menjaga bumi dari pemanasan global merupakan tantangan yang tak pernah mudah. Data dari Copernicus Climate Change Service (C3S) per 15 Maret 2025, menunjukkan bahwa suhu rata-rata global telah mencapai 14,08 derajat celcius, melebihi target Perjanjian Paris yang mengharuskan pemanasan global tetap di bawah 1,5 derajat celsius dari masa pra-industri. Salah satu faktor penyebab utama pemanasan global adalah emisi karbon dioksida yang terus meningkat. Di Indonesia, sektor logistik telah berkontribusi dalam 36% total emisi industri nasional, membuat praktik supply chain management (SCM) yang berkelanjutan menjadi semakin penting.

Adopsi SCM berkelanjutan menjadi semakin krusial, mengingat banyak perusahaan masih enggan untuk beralih ke praktik rantai pasok yang lebih hijau karena anggapan bahwa biayanya terlalu tinggi. Namun, regulasi lingkungan global semakin mendorong perusahaan untuk memperbaiki rantai pasok mereka atau menghadapi pajak karbon yang semakin besar. Uni Eropa, misalnya, telah menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang memberlakukan tarif lebih tinggi bagi produk yang tidak memenuhi standar keberlanjutan. Indonesia, sebagai salah satu eksportir utama, harus mewaspadai dampaknya.

Selain tekanan regulasi, pergeseran pola konsumsi global juga semakin mendorong industri untuk beradaptasi dengan rantai pasok yang lebih hijau. Konsumen global lebih bersedia membayar lebih mahal untuk produk yang memiliki rantai pasok berkelanjutan. Investor juga mulai mengalihkan dana mereka ke perusahaan yang menerapkan prinsip environmental, social, and governance (ESG). Meskipun menerapkan SCM berkelanjutan memerlukan investasi awal yang lebih besar, namun dalam jangka panjang, perusahaan bisa menghemat biaya operasional dan meningkatkan efisiensi energi.

Namun, tantangan besar masih ada, terutama dalam hal regulasi yang belum sepenuhnya mendukung transisi ke SCM berkelanjutan. Dukungan finansial dari pemerintah masih minim, bersama dengan keterbatasan infrastruktur yang menjadi kendala utama. Namun, dengan adopsi manajemen operasional berbasis ESG dan penerapan sistem Lean and Green Supply Chain, perusahaan bisa menekan biaya operasional dan meningkatkan daya saing di pasar internasional. Langkah-langkah seperti meningkatkan transportasi logistik ramah lingkungan juga dapat membantu Indonesia menuju rantai pasok yang lebih hijau.

Kesimpulannya, SCM berkelanjutan bukan hanya sebagai tren, melainkan kebutuhan yang tak bisa dihindari. Perusahaan harus segera beradaptasi untuk menjaga daya saing di pasar global dan memastikan keberlanjutan ekonomi nasional. Investasi dalam rantai pasok yang lebih hijau tidak hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk masa depan ekonomi bangsa yang lebih berkelanjutan. Terapkan langkah-langkah berkelanjutan sekarang, agar Indonesia tidak tertinggal dalam arus perubahan global menuju rantai pasok yang lebih ramah lingkungan.

Source link

Semua Berita

Berita Terbaru