Dalam hukum modern Indonesia, terdapat fenomena yang dikenal sebagai mafia peradilan. Mafia peradilan digambarkan sebagai korupsi yang terjadi secara sistematis melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan lembaga peradilan. Hal ini termasuk polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim, dan petugas di lembaga pemasyarakatan. Beberapa faktor yang menyebabkan praktik mafia peradilan antara lain karena korupsi yang telah menjalar ke dalam institusi penegak hukum dan lemahnya pembelaan Hak Asasi Manusia dalam hukum pidana di Indonesia.
Menariknya, dalam analisis ekonomi terhadap kinerja aparat penegak hukum, mereka kadang-kadang menggunakan hukum sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Hal ini dikenal dengan istilah “law as a tool of crime”. Selain itu, hakim dianggap sebagai sosok yang tidak terlalu mudah dijamini karena mereka memiliki kekuasaan untuk menentukan nasib seseorang dalam suatu perkara.
Dalam konteks Peradilan Pidana, probabilitas hakim untuk menjatuhkan pidana sebenarnya lebih cenderung untuk tidak menghukum. Setiap keputusan pengadilan dalam perkara pidana memiliki tiga kemungkinan, yaitu Bebas, Lepas, dan Menjatuhkan Pidana. Namun, di Indonesia, jika seorang hakim membebaskan seseorang dan muncul kontroversi, hal ini seringkali menimbulkan analisis dan kritik negatif dari masyarakat.
Pentingnya netralitas dan integritas aparat penegak hukum ditekankan dalam menjalankan tugasnya. Hukum Acara Pidana memiliki beberapa prinsip yang harus dipegang teguh, seperti hakim harus netral dan tidak boleh berpihak. Hal ini penting untuk menjaga keadilan dan mencegah diskriminasi dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, tugas aparat penegak hukum adalah menjalankan hukum dengan integritas dan keadilan.