Kota Cilegon dikenal sebagai pusat industri utama dengan lebih dari 250 perusahaan besar dan menengah di sektor baja, petrokimia, energi, dan logistik, yang mendorong nilai PDRB Cilegon mencapai Rp138 triliun pada tahun 2024. Namun, meskipun angka ini mencerminkan kemakmuran daerah, PAD Cilegon hanya sekitar 0,54% dari total PDRB, jauh di bawah angka sebanding dari daerah lain seperti Gresik dan Bekasi. Kemandirian fiskal Cilegon hanya mencapai 38%, dengan 61% pendapatan masih mengandalkan dana transfer pusat. Ini menunjukkan gejala stagnasi fiskal yang perlu penanganan serius.
Penyebab stagnasi PAD di Cilegon antara lain perusahaan besar dengan NPWP di luar daerah, dominasi vendor dari luar daerah dalam jasa penunjang industri, dan infrastruktur kelembagaan fiskal yang masih konvensional. Peningkatan PAD dapat dicapai melalui strategi value capturing yang mengeksploitasi nilai ekonomi yang sudah ada di daerah. Digitalisasi sistem retribusi dan perizinan, serta kemitraan fiskal sukarela dengan industri dapat menjadi langkah awal untuk mengatasi masalah ini.
Selain itu, reformasi BUMD seperti PT Pelabuhan Cilegon Mandiri dan revitalisasi PDAM serta BPRS Cilegon Mandiri juga menjadi kunci dalam meningkatkan kontribusi fiskal daerah. Tim khusus inovasi PAD yang bertugas mengidentifikasi potensi baru dan mengawal implementasi kebijakan berbasis data digital juga perlu dibentuk.
Cilegon perlu bertransformasi dari peran sebagai penonton menjadi pemain fiskal dengan mengoptimalkan sektor-sektor besar yang selama ini belum memberikan kontribusi fiskal yang maksimal. Hal ini memerlukan tata ulang sistem fiskal agar lebih adil, transparan, dan berkeadilan ekonomi. Maka, saatnya bagi Cilegon untuk kembali mengambil hak fiskalnya sebagai kota industri yang berkembang.(*)
Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News