Setelah reformasi tahun 1998, pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda utama di Indonesia. Masa kelam Orde Baru dan maraknya korupsi di rezim otoritarian memberikan pelajaran berharga bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan. Korupsi tidak hanya merusak fondasi negara, tetapi juga menghambat upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan demokratis (democratic and clean government).
Menyadari bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, penanganannya juga harus dilakukan dengan langkah-langkah yang luar biasa. Beberapa instrumen khusus dengan kewenangan yang luar biasa pun dibentuk, mulai dari peraturan perundang-undangan hingga pembentukan instrumen khusus penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain KPK, pemerintah dan DPR juga mendirikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menangani perkara-perkara korupsi.
Namun, keberadaan Tipikor dianggap inkonstitusional dan Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan perbaikan struktur kelembagaan KPK dan pengadilan khusus. DPR pun mengesahkan Undang-Undang Pengadilan Tipikor pada tahun 2009. Namun, seiring waktu, masalah muncul di pengadilan Tipikor, terutama terkait seleksi hakim.
Seleksi hakim Tipikor merupakan tahap penting dalam pembentukan pengadilan ini. Namun, berbagai kendala seperti minimnya partisipasi akademisi, seleksi yang diburu waktu, kekurangan anggaran, proses rekam jejak yang tidak optimal, dan kurangnya kerja sama dengan PPATK menjadi hambatan. Akibatnya, kualitas hakim yang dipilih mungkin tidak memenuhi standar yang diperlukan. Artinya, perbaikan dalam proses seleksi hakim Tipikor perlu ditingkatkan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.