Dalam dunia olahraga, prinsip lex sportiva menegaskan bahwa olahraga memiliki hukum yang otonom, independen, dan universal. Federasi olahraga memiliki wewenang untuk menetapkan aturannya sendiri tanpa campur tangan eksternal. Penegakan disiplin merupakan implementasi dari kedaulatan olahraga, khususnya dalam sepakbola. Kode Disiplin PSSI bertujuan untuk mengatur pelanggaran disiplin, menerapkan sanksi, dan menetapkan peran badan yudisial serta prosedur hukumnya. Namun, saat ini penegakan kode disiplin oleh Komisi Disiplin PSSI terlihat tidak efektif.
Ketika kasus match fixing melibatkan Vigit Waluyo, Official PSS Sleman & Perangkat Pertandingan terungkap, Komisi Disiplin PSSI tampak lamban dalam menindaklanjuti. Meskipun PN Sleman telah memberikan putusan hukuman pada Maret 2024, Komisi Disiplin PSSI hingga Mei 2024 belum juga mengambil tindakan. Pertanyaan pun muncul mengenai keterlambatan sidang dan keputusan dari Komdis PSSI terkait hal ini.
Ulasan terhadap Komisi Disiplin PSSI ini bukan bertujuan untuk menyalahkan, namun untuk mengungkap ketidakjelasan yang terjadi. Penantian yang terus berlangsung memicu ketidakpastian dan pertanyaan mengenai independensi Komdis PSSI. Dalam situasi seperti ini, penting untuk merenungkan urgensi penyelesaian perkara dan transparansi dalam menjalankan tugas penegakan disiplin.
Meski demikian, upaya kritik konstruktif terhadap Komisi Disiplin PSSI harus tetap dihargai dan bukan menjadi alasan untuk reaksi berlebihan. Masyarakat berhak menuntut akuntabilitas dan transparansi dalam menjaga integritas olahraga. Kritik yang dibangun secara sehat dapat memperkuat sistem penegakan hukum di bidang olahraga. Sebagai Founder Football Institute, saya mendorong Komdis PSSI untuk bertindak secara efektif dan transparan demi menjaga keberlanjutan integritas sepakbola Indonesia. Karena pada akhirnya, penegakan disiplin yang konsisten merupakan landasan kuat dalam menjaga eksistensi olahraga secara menyeluruh.
