Belakangan ini, media sosial tengah diramaikan oleh pernyataan Abidzar yang mengakui bahwa ia tidak menonton drama Korea “A Business Proposal” meskipun terlibat dalam versi remake-nya. Alasannya adalah agar dapat membangun karakternya sendiri tanpa terpengaruh oleh versi aslinya. Namun, pernyataan ini memicu reaksi beragam dari netizen, dengan sebagian mengkritik sikapnya yang dianggap kurang profesional karena film yang dibintangi merupakan remake yang seharusnya tetap menghormati karya aslinya. Di sisi lain, ada juga yang membela Abidzar, menganggap pendapatnya sebagai bentuk kebebasan dalam berakting.
Fenomena seperti ini sebenarnya bukan hal baru di dunia media sosial. Cancel culture, atau yang juga dikenal sebagai callout culture, adalah tindakan menghentikan dukungan terhadap seseorang, kelompok, organisasi, atau perusahaan karena pendapat atau tindakan yang dianggap tidak pantas oleh sebagian orang. Biasanya, proses “canceling” ini dilakukan dengan memboikot karya atau aktivitas yang terkait sebagai bentuk hukuman sosial. Cancel culture sering dimulai di media sosial, di mana seseorang atau pihak dipermalukan secara publik dan kemudian dilakukan kampanye untuk “membatalkan” dukungan terhadap orang tersebut.
Pendapat mengenai cancel culture sendiri sangat beragam. Sebagian melihatnya sebagai alat untuk menuntut keadilan dan akuntabilitas, sementara yang lain menganggapnya sebagai bentuk hukuman sosial yang berlebihan. Cancel culture bisa menjadi cara masyarakat menuntut pertanggungjawaban, namun juga berpotensi menjadi perundungan online atau meningkatkan intoleransi terhadap perbedaan pendapat. Dengan berbagai dampak positif dan negatifnya, cancel culture tetap menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan di era media sosial saat ini.