Oleh : Muhamad Fajrilbali Azkiya Brutu
Potongan-potongan fragmen kejadian yang sudah terjadi tempo dulu sudah tersusun dalam puzzle pemerintahan di lingkup masanya masing-masing. Menjadi pelajaran untuk pemerintahan selanjutnya.
Gus dur memulai masa kepemimpinannya dalam menyusun puzzle pemerintahan Indonesia dengan berani. Sebagai ulama yang merujuk pada dalil-dalil, begitupun sebagai politikus yang merujuk pada landasan-landasan teoritis, untuk mencapai Al-maslahah al-‘ammah yang bermakna keadilan dan kemakmuran masyarakat.
Disebutkan dalam buku Tabayun Gus Dur, bahwa “Islam tidak mengenal doktrin tentang Negara an sich (tidak berbentuk). Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Saya (Gus Dur) yakin doktrin tersebut berasal dari pemimpin-pemimpin Islam yang ikut menyusun muqaddimah konstitusi Negara kita”.
Metodologi yang diterapkan oleh Gus Dur kebanyakan dari timur, sebab masa pendidikan yang dijalaninya lebih banyak dihabiskan di sana. Diantaranya yaitu ijma’, qiyas, al-‘aadah, al-maslahah, al-istihsan dan lainnya. Lalu ada teori hukum atau ushul al-fiqh dan kaidah-kaidah hukum atau qowaid fiqhiyyah yang semua nilai tersebut berpegang pada prinsip musyawarah (syura) 4, keadilan, kebebasan dan kesetaraan.
“Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian,” begitulah ucap Gus Gur di masa beliau menjabat sebagai presiden ke-4 RI.
Secara tersirat menyampaikan pesan terhadap bangsa bahwa jabatan yang saat itu didapatkannya melalui MPR, bukanlah sesuatu yang dicari dan dipertahankan secara mati-matian, sampai memperbolehkan dan menghalalkan segala perbuatan buruk untuk mencapainya.
Begitupun ditegaskan kembali melalui ucapannya di salah satu siaran televisi nasional, dengan lantang diucapkannya bahwa menjadi Presiden itu tidak perlu modal. Modal untuk kampanye, serta dukungan-dukungan lain yang membutuhkan banyak modal. Terkecuali modal kepercayaan dari rakyat, itulah modal sebenarnya yang dibutuhkan supaya terpilih sebagai presiden menurut Gus Dur.
Dipadukan dengan pemahaman agama, ilmu serta ajaran-ajaran yang telah dipelajarinya berkaitan erat dengan hal demokrasi, nilai kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan terhadap manusia, alhasil membentuk karakternya menjadi seorang yang pluralis. Sejatinya Indonesia ada karena perbedaan, maka mengembangkan nilai demokrasi tentunya menjadi keharusan yang melekat bagi Masyarakat.
Di awal pelantikannya, banyak sekali kejadian krisis sosial yang dialami, mungkin hal ini menjadi alasan tersendiri baginya untuk memimpin sebagai Presiden di masa itu, dilihatnya dengan pandangan Islami, tentu menjadi suatu mas’alah yang perlu diperbaiki untuk mencapai maslahah al-‘ammah, tanpa adanya keinginan nafsu kecuali nilai ibadah yang ada di dalamnya.
Maka tidak heran jika beliau sendiri mengatakan bahwa tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan secara mati-matian. Mengingat saat itu pendukungnya berjumlah ratusan ribu sudah siap berkumpul di wilayah pemerintahan untuk menolak pencabutan jabatan Gus Dur sebagai Presiden. Karena hal itu akan menyebabkan terjadinya perpecahan dan pertumpahan darah, itu bukanlah sesuatu yang diinginkan Gus Dur.
Tidak ada maslahah al-‘ammah pada perbuatan itu, maka lebih baik ia melepas jabatannya daripada yang demikian itu, karena orientasi perbuatannya hanyalah kepada ilahi, bukan nafsunya sendiri, sehingga mudah saja baginya untuk melepas semua jabatan itu.
Jalan Demokrasi juga hidup pada saat itu ketika pers dibebaskan dari belenggu departemen penerangan (1999), koruptor yang bersarang di departemen sosial pun demikian dibubarkan olehnya sebab sikapnya yang antipolitik. Bahkan DPR pun hampir dibubarkan olehnya.
Semua itu dilakukannya (pembubaran) tanpa kompromi, hingga akhirnya banyak kontroversi yang terjadi. Meski demikian, pandangannya yang antipolitik, karakternya yang pluralisme, semuanya berkiblat atau mengarah dan beroirentasi pada nilai kemanusiaan yang menjadi suatu teladan bagi kita, khususnya untuk seluruh masyarakat di Indonesia.